Al Habib Nabiel bin Syauqi Al Qadry Pembina Majelis Sholawaat Hayyun Fii Qulubina
“Tanpa seorang pendidik, murid
tidak akan tahu apa-apa. Saya tahu Rabb saya karena ada seorang murabbi,
pendidik. Kalau pengajar, banyak sekali. Tapi pendidik, langka.”
Muda usianya tapi dalam ilmunya. Itulah kesan yang melekat pada diri
Habib Nabiel Syauqi Al-Qadri, pengasuh Majelis Ta’lim dan Shalawat
Hayyun Fii Qulubinaa. Pribadinya ramah dan komunikatif, riang dan
terbuka, bersikap selalu rendah hati dan membuat lawan bicaranya betah
berkomunikasi dengannya.
Di daerah Larangan, Cileduk, Jakarta Selatan, khususnya, dan Jakarta
Barat umumnya, nama Habib Nabiel sudah tidak asing lagi. Sekarang
majelisnya sudah menyebar ke berbagai tempat sehingga sudah mempunyai
tiga belas korwil.
Ia lahir dan dibesarkan di daerah Larangan, Cileduk, 28 tahun yang
lalu, dari keluarga yang mencintai pendidikan. Ayahnya, Habib Syauqi,
adalah direktur Jamiat Kheir. Dari kecil, ia sudah mendapat arahan dan
bimbingan dalam hal agama, jenjang pendidikannya pun tidak terlepas
dari pesantren dan sekolah agama. Sebelum mondok di Pondok Pesantren
Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur, ia menjadi santri di
Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat.
Selepas dari Bangil, Habib Nabiel melanjutkan menuntut ilmu ke Darul
Musthafa, Hadhramaut, di bawah bimbingan Habib Umar Bin Hafidz. Di
Hadhramaut, Habib Nabiel banyak sekali mendapatkan bimbingan, ilmu, dan
teladan dari Habib Umar Bin Hafidz, juga dari Habib Ali Al-Jufri,
karena ia sempat menjadi pembantu (
khadim) Habib Ali Al-Jufri.
“Kalau kita ingin belajar ke Hadhramaut, harus mempunyai dasar yang
kuat. Bahasa Arab harus dimatangkan. Kalau perlu, sudah mempunyai
hafalan Al-Qur’an,” ujar ayah satu putri ini dengan suaranya yang
empuk.
“Setelah itu kita tanyakan kepada diri kita, untuk apa belajar ke
Hadhramaut, bukankah tanah air juga gudangnya ilmu agama, nahwu, dan
sharaf, para ahlinya terkenal dari Indonesia, lalu, kalau mau belajar
ceramah, Mesir terkenal sebagai pusatnya? Mengapa harus ke Hadhramaut?
Kita datang ke Hadhramaut untuk
barakatul ‘ilmi, mencari berkah
ilmu. Keberkahan ilmu itu berawal dari pengamalan ilmu, dan itu yang
kuat menjaganya di Hadhramaut,” ujarnya.
“Yang saya pelajari di Hadhramaut kitab yang sudah dipelajari di
Bangil tapi berkahnya berbeda. Saya mengulang kitab itu tapi di samping
itu saya juga melihat contoh dan perilaku Habib Umar, apa yang beliau
lakukan. Tatkala pagi datang, sambil terkantuk beliau tetap mengajar,
secercah sinar matahari menerpa tubuhnya. Walau kadang lelah, dakwah
terus berjalan. Lalu saya menyaksikan bagaimana interaksi beliau
dengan yang tua, dengan yang muda, dengan anak-anak, dengan yang
nonmuslim.
Tanpa seorang pendidik, murid tidak akan tahu apa-apa. Saya tahu Rabb
saya karena ada seorang murabbi, pendidik. Kalau pengajar, banyak
sekali. Tapi pendidik, langka.”
Hidup di Dalam Qalbu
Setelah menuntut ilmu selama empat tahun di Darul Musthafa, Habib
Nabiel kembali ke tanah air pada tahun 2007. Ia menginformasikan bahwa
di Darul Musthafa sekarang sudah ada gelar “Lc” untuk alumninya. Ini
berawal dari keprihatinan Habib Umar Bin Hafidz terhadap para alumnus
Darul Musthafa yang berasal dari beberapa negara. Setelah menuntut
ilmu sekian lama di Hadhramaut, hanya untuk mendapat gelar mampir
sebentar ke Mesir. Untuk itulah, sekarang ada gelar.
Habib Nabiel mengakui, abahnya sangat berperan memberikan nasihat,
dorongan, dan masukan tanpa lelah. Abahnya mendorongnya memperkenalkan
diri kepada masyarakat setelah pulang ke tanah air. “Hadiri terus
majelis ta’lim, jaga hubungan dengan masyarakat, perkenalkan diri
dengan santun, jangan dengan cara memaksakan diri, atau mengatakan
‘Ini lho ana’,” ujarnya menirukan nasihat abahnya.
Habib Nabiel pun menghadiri ta’lim di Majelis Rasulullah, pimpinan
Habib Munzir Al-Musawa. Ia sempat deg-degan saat hadir pertama kali
melihat jama’ah yang demikian banyak. Ia diberi tempat oleh seniornya,
Habib Munzir, dan disambut dengan sangat baik. Saat itu Habib Munzir
mengatakan kepadanya agar pekan selanjutnya ia mengisi taushiyah.
Waktu pun berjalan seiring semakin banyak ta’lim yang diisinya, di
Menteng Dalam. Atas arahan K.H. Abdurrahman Nawi, ia pun mendirikan
majelis ta’lim dan shalawat yang oleh abahnya diusulkan namanya “Hayyun
fii Qulubinaa”, hidup di dalam qalbu. Beberapa waktu kemudian ketika
Habib Ali Al-Jufri berkunjung ke Indonesia, nama tersebut diresmikan.
Di majelisnya, selain shalawat, pembacaan Maulid, ada juga pembacaan
hizb (doa-doa perlindungan) Bin Sahil, lalu kitab-kitab fiqih,
Riyadhus Shalihin,
tafsir, tauhid, dan taushiyah. Hampir semua ta’lim berlangsung malam
hari, kecuali untuk ibu-ibu, berlangsung siang hari, di beberapa
tempat.
Majelis Gabungan
Saat ini di Jakarta Barat dan perbatasan, seperti Cileduk, Cipulir,
berkembang majelis gabungan yang mengadakan ta’lim setiap Ahad pekan
pertama. Banyak pihak menyambut gembira adanya majelis gabungan, karena
hal itu akan membuat dakwah semakin solid. “Kita berusaha untuk
menghindari majelis terpecah-pecah.... Dakwah itu harus saling
bersinergi, saling berangkulan. Juru dakwah jangan sampai menutup diri.
Dan alhamdulillah banyak manfaat yang dirasakan dengan terbentuknya
majelis gabungan itu, yang sekarang berhimpun delapan majelis ta’lim,”
tutur Habib Nabiel.
Habib Ali Al-Jufri sangat senang dan mendukung adanya majelis gabungan tersebut. Itu potensi yang luar biasa.
Dalam berdakwah, Habib Nabiel berusaha semaksimal mungkin memadukan
ketegasan dan kelembutan. Kepada yang muda ia selalu mengingatkan agar
menjaga akhlaq sebagai anak majelis. Anak majelis harus taat peraturan,
kalau berlalu lintas taati rambu-rambu, jangan suka menyerobot. “Kita
anak majelis, bukan anak geng motor.”
Ada yang membuatnya sangat bersemangat ketika menjalani tugas
dakwah, yaitu semangat belajar orang-orang tua di majelis yang
dibinanya. Misalnya di Kramat Jati, orang tua membawa buku untuk
mencatat, itu membuatnya terpacu untuk juga punya persiapan yang baik
sebelum memberikan ta’lim. Yang tua-tua saja mencatat, tentu yang muda
merasa tertantang juga. Yang tua saja masih bersemangat, apalagi yang
muda. Ada bukti untuk anak-cucu berupa catatan.
Tantangan Dakwah
Apakah para pendakwah perlu spesialisasi? Menurut Habib Nabiel, para
lulusan Hadhramaut lebih condong kepada pengamalan ilmu dan
kebersihan hati, jadi lebih condong kepada tasawuf. “Kalau dalam agama
kan ada tiga pilar. Islam, iman, dan ihsan. Atau fiqih, tauhid, dan
tasawuf. Kita dituntut menguasai fiqih, aqidah yang bersih, lalu
diamalkan dengan tasawuf. Masing-masing alumnus kecenderungannya
berbeda-beda,” kata Habib Nabiel.
Berbicara tentang dakwah, Habib Nabiel membaginya menjadi dua hal
pokok, yaitu tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal
berawal dari kepribadian sang dai. Menurutnya yang paling berat adalah
popularitas. “Kadang pendakwah disambut seperti artis, maka kalau tidak
hati-hati akan timbul sikap ujub. Ingat, dakwah bukan tontonan,
melainkan tuntunan. Dakwah juga bukan bisnis. Adalah penilaian yang
keliru bahwa keberhasilan pendakwah itu dari mobilnya, dari tempat
tinggalnya.... Sekali lagi, dakwah bukan ladang bisnis. Jika ada
pendakwah yang sampai memasang tarif, itu sungguh memprihatinkan. Ingat
dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan ingat pula bagaimana
jatuh-bangunnya beliau dalam berdakwah, lalu siksaan yang beliau
terima. Benar Rasulullah SAW menerima hadiah, tapi beliau tidak pernah
meminta. Jadi para pendakwah harus meneladani Rasulullah SAW,” kata
Habib Nabiel.
Ia mengingatkan, sebisa mungkin pendakwah mempunyai nafkah sesuai
kemampuan. Di Hadhramaut, menurutnya, para pengajar dan pendakwah
menafkahi keluarga mereka dengan berdagang. “Malah ada seorang
pengajar yang begitu disegani, mungkin setingkat profesor, kalau tidak
mengajar atau tidak berdakwah mengisi hari-harinya dengan berjualan
minyak wangi, kitab, sesuai kemampuannya,” ujar Habib Nabiel
mencontohkan.
Yang paling penting menurutnya adalah ikhtiar. Soal hasil, itu urusan
Allah SWT. Begitu pentingnya ikhtiar, Allah SWT sudah memerintahkan
kepada Siti Maryam untuk berikhtiar ketika ia baru saja habis melahirkan
Nabi Isa AS. Seperti dikisahkan di dalam Al-Qur’an, Siti Maryam
diperintahkan mengguncang-guncang pohon kurma agar buahnya berjatuhan
untuk dijadikan makanan. Siti Maryam pun mengguncang-guncang pohon
kurma tersebut, maka hasilnya berjatuhanlah kurma, yang dijadikan
santapan setelah ia melahirkan. “Begitulah, demikian pentingnya
ikhtiar,” kata Habib Nabiel dengan suara mantap.
Sedangkan tantangan eksternal menurutnya adalah kemampuan berdakwah
yang harus mempunyai wawasan luas sehingga ketika meyakinkan pihak yang
tidak sependapat akan terucap dari mulut mereka bahwa kita mempunyai
kedalaman ilmu. “Jadi bukan kita yang memaksakan orang lain mengakui
kita, tapi orang lainlah yang dengan tulus mengakuinya,” ujarnya.
Ada kebiasaan unik yang dilakukannya sebagai bentuk sikap tawadhu’
kepada orangtuanya, yaitu selalu minta air minum yang telah dicicipi
dulu oleh orangtuanya. Air tersebut telah didoai, dan doa orangtua
adalah kekuatan dahsyat yang luar biasa.
Majelis Sholawaat Hayyun Fii Qulubina
selalu mengadakan Tabligh Akbar disetiap malam minggunya,biasanya
diadakan di Muhola,di Masjid atau dijalan jalan perkampungan ,yang
disetiap malam minggunya selalu berpindah pindah tempat.
Bila sahabat fillah melewati daerah
Ciledug - Kota Tangerang dan sekitarnya, kawasan ini selalu ramai
dihiasi oleh Umbul - umbul berwarna Kuning dan Biru sebagai wujud Syi'ar
Majelis Sholawaat Hayyun Fii QUlubina,yang akan Dihadiri oleh Ribuan
Jama'ah yang mayoritasnya para pemuda dan pemudi SE-Kota Tangerang.
s
مجلس صلوات حين فيقولوبنا
الحبيب نبيل بين سياق القادري
::::===================::::================::::
Sekretariat Majelis Sholawaat Hayyun Fii Qulubina
JL. Mawar Raya Blok OIII No.3 Komp. Larangan Indah,
Larangan Utara - Ciledug, Kota Tangerang
Info Jadwal :
Rahmat Hidayat : 08998336919
Syatiri Ahmad : 089630012133